Kamis, 27 Juni 2013

jodoh


Semua orang Tuhan kasih hak untuk memilih. Yah, berlaku juga dalam hal jodoh. Tak apa jika kita memilih, tak ada salahnya, masuk akal jika kita ingin seseorang yang terbaik untuk kita, toh tetap nantinya Tuhan yang tentukan siapa jodoh kita.

Jodoh. Kata orang, jodoh itu pasti yang tepat, pasti yang mengerti, pasti yang menerima, pasti yang tulus, dan pasti yang terbaik. Pasti. Pasti?. Lalu untuk mereka yang mengklaim bahwa mereka berjodoh tapi akhirnya salah satu dari mereka selingkuh apa namanya?, terus untuk mereka yang menjujung tinggi pengertian tapi mendasari semua dengan keegoisan apa istilahnya?, juga untuk mereka yang sering bersuara bahwa mereka saling menerima pasangan mereka apa adanya, tapi disisi lain mereka juga meneriakan dengan suara keras bahwa mereka menuntut cantik, rapi, wangi, pintar dari pasanganya, disebut apa? Kalau untuk mereka yang berikar bahwa mereka saling mencintai dengan tulus dan ditengah jalan mereka menucapkan talak, bagaimana? Dan untuk mereka yang dengan pasti yakin bahwa yang dipilih untuk mendampingi mereka adalah orang yang terbaik untuk mereka, tapi akhirnya dengan yakin pula mereka memilih orang yang berbeda, dan menyebutnya lagi dengan “ini yang terbaik buat ku”, apa yang berbeda itu juga disebut jodoh? Berarti setiap manusia bisa dikatakan jodohnya tidah hanya satu? Seperti itukah? Lalu seperti apa?, aku juga tak paham, begitu pula dengan kita..

Mungkin kita berjodoh, mungkin karena kita sudah cukup lama melewati ini semua berdua. Yah layaknya pikiran manusia. Berdua. Hanya aku dan kamu. kita. Ada kamu saat akau sakit, terpuruk, jatuh. Ada aku saat kamu bimbang, takut, terperosok. Meski diawal kisah kita, banyak ujian yang menerpa kesetiaan kita. Banyak. Aku harus menahan rindu ku, karena tak ingin sakit jika menyadari bahwa jarak kita yang begitu saat jauh. Aku harus menahan tangan ku untuk memeluk mu karena tubuh mu yang tak berada didekat ku. Aku harus menahan kaki ku untuk melangkah bersama mu karena kaki mu yang kuat sedang melangkah menuju pendewasaan waktu. Tapi aku bersyukur untuk waktu itu, untuk jarak itu. Aku yang terlahir mandiri, cukup kuat untuk menari-nari bersama rindu ku agar aku tak begitu menyadari bahwa ada yang namanya jarak. Aku yang terlahir tak bergantung pada orang lain, sangat kuat untuk melipat tangan ku, bersujud padaNya memohon agar kamu diberi perlindungan ditempat yang aku sendiri tak tau letaknya. Dan aku yang terlahir dengan ketangguhan ku, begitu kuat untuk melangkahkan kaki ku tanpa kaki mu demi meraih impian ku disini. Iya ingatkah itu? Saat-saat itu? Dimana hanya ada suara, untuk mu selalu mengingatkan ku, member kabari untuk ku. mengingat kan jangan telat, apalagi lupa makan? mengucapkan kata rindu jika rembulan mulai menemani ku? Dan menyalurkan semangat untuk ku, mulai mengawali aktifitas ku, melalui frasa-frasa yang terucap begitu menggetarkan? Ingat? Atau mungkin kamu lupa karena sudah dua tahun itu semua berlalu. Dan sekarang kamu disini..dititik ini..disudut Ini.. bersama ku tentunya. Pikir ku.

Pagi ini, aku merasakan sesutau yang berbeda. Aku, rasa ku. Tak tau. Aneh. Dan tak baik. Huh. Aku tak memperdulikan masalah dalam diri ku, aku bergegas menghampiri mu. Dalam keadaan ku yang aneh, aku mendapati mu masih dengan keadaan yang aneh. Ah. Sabar, aku diam membangunkan mu diwaktu dimana mentari mulai memanas. Tapi panasnya mentari tak sepanas hati ku, saat aku mendapati handphone mu yang belum sempat aku buka, sudah kamu raih. Aku memuncak, tak biasanya kamu seperti ini, dan tak biasanya pula rasa ku seperti ini, ada yang kamu sembunyikan. Ada. Selama ini kita tak pernah menutupi apapun, tapi kali ini? Apa?. Cukup! Aku tak butuh omong kosong mu yang dari tadi kau jelaskan pada ku.

Aku tak bisa menyembunyikan rasa ku. Aku tak bisa menahan air mata ku. Mungkin ini hal biasa, tapi kamu tau dampaknya begitu luar biasa. Apa? Apa yang membuat mu tiba-tiba menutupi yang tertutupi? Apa yang membuat mu, menjadikan ku seperti ini?. Pikiran ku kalut. Yang ada jika ternyata kamu A, B, C, D, dan lain sebagainya. “belum saatnya kamu tahu” kata mu menenangkan ku. Ikhlas.. ikhlas.. ikhlas.. itu yang aku coba dapatkan

 Kamu tahu apa yang terjadi pada ku?. Kehadiran mu, sosok mu, sikap mu, membuat ku berubah. Aku menjadi tergantung pada mu. Aku menjadi terbiasa dengan tatapan mu. aku menjadi hafal dengan sikap-sikap mu. aku menjadi mengerti dengan kebiasaan mu. dan aku menjadi sangat sakit saat mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Wanita. Ya wanita. Oke, aku tak menuduh mu, sama sekali. Tapi, tolong jelaskan pada ku. Siapa wanita itu? Wanita yang membuat mu menutupi itu semua dari ku. Jika alasan mu, kamu takut aku sakit, jika mengetahui yang sebenarnya. Apa kamu tak coba memikirkan bagaimana sakitnya aku jika yang aku terima dalah kebohongan. Aku lebih memilih sakit dari kejujuran dari pada sakit karena kebohongan.

Perkenalan singkat mu dengan wanita itu, yang kemudian membuatnya berharap lebih dari mu. aku paham, aku juga wanita. Aku juga senang jika diperhatikan, dan wajar jika wanita menganggap perhatian yang mungkin menurut mu biasa itu menjadi sebuah harapan. Sadarlah bahwa kamu sedang berhadapan dengan wanita, sayang. Wanita itu. Aku pun tak menyalahkannya, juga kamu. mungkin memang harus seperti ini ceritanya. Harus. Kamu harus mengenalnya. dia harus merasakan rasa nyaman yang dia dapatkan dari mu. Dan aku? Ya aku harus menerima kenyataan yang ada. Kenyataan jika ada yang baik dan yang belum baik. Aku yang baik, dan dia yang belum baik, dan kamu? bukankah berarti kamu harus menjadikanya baik? Yang berarti kamu harus meninggalkan aku?. Ikhlas. Tapi aku manusia!. Aku punya rasa takut, takut saat apa yang kita impikan untuk masa depan kita, hanya akan jadi impian. Takut saat nama-nama yang indah untuk anak-anak kita kelak hanya akan menjadi kenangan. Takut saat restu yang susah payah kita dapatkan akan menguap begitu saja. Takut saat kepercayaan ini tak bisa kembali seperti dulu kala. Dan aku takut jika ternyata aku merelakan mu dengannya

Seperti ini ceritanya, seperti ini pelajaranya. Aku bersyukur bisa melewatkan ini semua bersama mu. bersyukur dapat mengenal mu, yang mungkin akan menjadi jodoh ku. Juga bersyukur karena sosok wanita itu, yang mungkin jodoh mu. Sekali lagi terimakasih karena kamu masih disini berdiri bersama ku, bukan bersamanya, terimakasih karena kamu masih dititik ini melangkah bersama ku, bukan bersamanya, dan terimakasih karena kamu juga masih disudut ini bertahan bersama ku, bukan bersamanya. Tapi masih juga disini, dititik dan sudut ini, aku sering bersujud melipat tangan dan menunduk meneteskan air mata ku dan menyebut nama mu yang mungkin Tuhan tentukan kamu menjadi jodoh ku.

#terimakasih untuk kepercayaan ini aku berdoa yang terbaik untuk kalian

Rabu, 19 Juni 2013

melody



Tuhan mencintai nya dengan cara yang berbeda. Berbeda, yang berarti tak sama. Iya, tak sama, berbeda. Melody. Seorang gadis yang Tuhan inginkan berbeda. Tujuh  tahun yang lalu, dimana Melody harus menerima kenyataan bahwa Tuhan menunjuknya untuk menyatakan bahwa Tuhan sangat mencintainya, mencintainya dengan cara berbeda.
Gadis kecil yang sangat manja, yang mendapatkan apa yang selalu dia inginkan, bertumbuh ditengah keluarga yang harmonis,  iya,  sebelum tujuh tahun yang lalu. Sehari bisa dua kali Melody mendapatkan boneka Barbie kesukaanya, seminggu bisa dua kali Melody berjalan bersama ayah dan ibunya untuk sekedar berkeliling kota, sebulan bisa dua kali Melody mendapat baju baru. Melody menjadi putri kecil, yang setiap pagi berbagi canda tawa dengan ibunya, setiap sore bermain bersama teman-temanya dan setiap malam, selalu, sebelum dia beranjak tidur  didongengkan oleh ayahnya. Ayah adalah sosok yang menjadi idolanya, dulu. Ibu menjadi sosok yang selalu memperhatikanya, dulu. Dulu. Dulu sekali, sebelum Melody harus menerima kenyataan yang mungkin seharusnya tak dia terima diusianya yang masih ingin bersenang-senang, diusianya yang seharusnya tak memikirkan jauh kedepan, diusianya yang harusnya bisa tertawa, bercanda, tiba-tiba diproses untuk menerima kasihNya.
Pernah suatu ketika, kala itu. Melody mengalami sakit mendadak. Mendadak panas, mendadak tak bisa bangun, mendadak lemas, mendadak tak mau bicara, mendadak tak mau mendengar, mendadak tak mau membuka mata, mendadak membuat seluruh keluarganya menangis, mendadak. Mendadak Melody merasakan sakit yang menyesakan dadanya, mendadak merasakan kesakitan yang begitu luar biasa, saat apa yang dia dengar dan apa yang dia lihat tak sama, sangat berbeda. “ndug, kenapa? Bilang ndug sama bulik, jangan cuma diam saja ndug” pinta tantenya yang saat itu tak kuasa melihat keadaan Melody. “ndug, pengen apa? Ice cream? Baju?, apa ndug? Nanti eyang belikan”, bisikan lembut neneknya, yang menggetarkan setiap orang yang ada disitu. “ndug, siapa yang nakali kamu cah ayu,?” Tanya kekwatiran itu diperdengarkan oleh tantenya. “ndug, maem ya, mau apa? disuapin ibu ya ndug”, ibu, iya suara ibu terdengar oleh Melody. Terdengar langkah kaki setengah berlari sambil terisak “ndug, lihat ndug, lihat tante belikan baju buat kamu lihat ndug, ayo dibuka ndug matanya” kalimat yang akhirnya memecahkan tangis yang tertahan, namun Melody hanya diam, menutup mata, menahan, menahan agar semua orang tak merasakan rasa sakit yang ia rasakan, menahan agar air mata yang ia tahan tak menambah banyaknya air yang sudah meluap. Melody hanya menutup mata tak ingin melihat bayangan yang terus menyakitkan terlihat lagi didepanya, Melody hanya menutup telingga agar dia tak mendengarkan lagi suara-suara yang menawarkan kebahagiaan untuknya, Melody tak mau membuka mulutnya untuk mengutarakan rasa sakit, sakit yang membuatnya tiba-tiba mendadak seperti itu. Tiba-tiba, tiba-tiba Melody harus melihat sosok yang mengajarkanya kasih, harus membagikan kasihnya kepada buah cintanya bersama wanita lain. Iya, Melody melihatnya, melihat bayi mungil yang tidak berdosa digendong oleh seseorang yang gagah, yang selama ini Melody anggap sebagai idola, yang setiap malam mendongengkan tentang perumpamaan kasih, mengajarkan Melody lagu-lagu yang selalu dia ingat, dia sukai. Sosok itu berjalan di depanya, memberikan senyumanya, senyum yang Melody tidak tau apa artinya, senyum yang sudah tak ingin lagi dilihat Melody, senyum yang menyakiti hatinya. Mulai dari itu, saat itu, kala itu, Melody tak ingin mengenal sosok itu, bahkan tak ingin memanggil sosok itu dengan sebutan, ayah.
Melody harus berjuang menahan keinginya memiliki boneka Barbie seperti kepunyaan teman-temanya, baju baru sperti yang sering dipakai saudara-saudaranya, atau sekedar jalan-jalan ke mengelilingi kota,melihat lampu-lampu yang indah lagi. Melody kecil, tak bisa lagi menjadi Melody yang manja, yang sebentar-sebentar menangis karena tak bisa mendapatkan apa yang dia inginkan. Tapi Melody kecil tak ingin membebani ibunya, dia bisa menahanya, menahan apa yang dia inginkan, dia terlalu sadar jika ternyata hidupnya telah berubah. Melody tak ingin menambah berat langkah kaki ibunya yang setiap hari harus bangun pagi, kedinginan, tapi dengan hangat, tangan kirinya mendekap Michael, dan dengan kuat tangan kananya mengandeng  Melody. Iya Melody melihat, mendengar, merasakan bagaimana perjuangan ibunya. Hanya ibunya. Melody terpaksa harus membiasakan diri dengan keadaan yang tak sama lagi. Melody tak begitu saja menutup matanya, tapi dia memmbuka matanya lebar-lebar untuk melihat kehidupan, kehidupan yang harus dia jalani. Kehidupan yang tak bisa membuatnya memilih lari, yang ada hanyalah pilihan bahwa dia harus tetap berjuang maju. Karena kalaupun ada pilihan lari dia tak tahu harus lari menuju siapa?, harus lari sekencang apa?, ya Melody memilih maju, maju untuk melihat rencana indah apa yang telah Tuhan siapkan untuk nya.
Tujuh tahun silam, tapatnya saat melody berumur enam tahun. Enam tahun? ,iya enam tahun kala itu. Dia harus diperhadapan dengan sesuatu yang membuatnya harus menahan rasa sakit dari, perpisahan, pengkhianatan, perselingkuhan. Dia harus bertumbuh tanpa adanya kasih sayang, perhatian, kepedulian, dia bertumbuh dengan kemandirianya, ketakutanya, keminderanya. Mandiri karena dia harus bisa melakukan apapun sendiri, takut jika kelak dimasa depanya dia menemukan sosok yang memebuat dia merasakan rasa sakit yang sama, dan minder karena tak ada sosok yang memberinya support, semangat, dorongan yang membuatnya lebih maju. Seratus delapan puluh drajat, hidupnya berputar
Waktu berjalan, tak membuatnya menjadi pribadi yang lemah melainkan kuat, proses, apayang dia liahat, dengar, rasakan tak membuatnya menyerah, tapi membuatnya berjuang. Meski dia berbeda, dia ingin membuktikan bahwa dia juga bisa melakukan hal yang orang lain sama lakukan. Dia ingin menguatkan orang-orang disektarnya. Dan sampai akhirnya Melody harus memperkuat hatinya untuk menahan hati yang harus tersakiti lagi, memperkuat telingganya untuk setiap apa yang orang bicarakan tentang keluarganya, dan terlebih memperkuat mata untuk melihat keharmonisan dari setiap keluarga yang dialihat. Salahkah jika dia tak ingin bermimpi? Ya dia tak ingin melambungkan semua khayalanya, khayalan bisa makan bersama dimeja makan bersama keluarganya, khayalan bisa bersendau gurau setiap malam didepan televisi, dan khayalan dia bisa bertukar pikiran saat dia mengalami sesuatu yang sulit untukdipecahkan, simple. Hanya itu, tapi terlalu rumit dan sakit jika harus terus dikhayalkan. Ini bukan mimpi, yang ketika bangun dia tak bisa merasakanya, tapi ini dunia nyata, dunia yang harus dia rasakan. Nyata, senyata senyuman kebahagiaan yang  tidak pernah dia lihat lagi setelah tujuh tahun yang lalu. Senyuman manja yang terlukis dari bibir ibunya saat sedang berceloteh dengan seorang pria. Setiap hari, setiap melody pulang sekolah, dia selalu melihat perhatian yang dia harapkan bisa didapatnya, terpapang nyata didepanya dan orang lain yang mendapatkanya “apa arti kehadiran ku dan Michael? kenapa tak bisa membuat ibu tersenyum bahagia seperti saat bersama pria itu? Apa ibu tak bahagia jika hanya memilki aku dan Michael ?”. Capek. Raganya juga hatinya. Kenapa harus menerima sakit lagi, kenapa tak ada yang bisa membuatnya percaya akan yang namanya kasih sayang. Tapi dia selalu berusaha membuat orang disekitarnya tak merasakan rasa yang dia rasakan. Berusaha selalu melakukan yang terbaik,meski apa yang dia terima tak selalu baik. “Cukup aku” ucapnya
Sampai detik ini, ketika Tuhan memberi aku kesempatan berbincang denganya, ketika Tuhan ijinkan aku mendengar kisahnya, ketika Tuhan  menginginkan aku menghampirinya setelah dia meniup lilin putih diatas kertas yang bergambar roti tar dengan gambar lilin angka tigabelas di atasnya, dan ketika Tuhan mempercayakan aku untuk mengusap air matanya, aku pilu melihat mata ketakutan itu. Ketakutan dengan yang namanya cinta, kasih sayang. “itu mengapa aku tak bisa percaya dan tak mau percaya lagi dengan cinta dan kasih. Aku takut merasakan rasa sakit lagi. Disini masih sangat terasa sakit” kalimat  itu bukan hanya aku dengar, tapi juga selalu terngiang-ngiang dipikiran ku. Dan membuat ku merasakan sakit itu juga, sakit yang dirasakan oleh seorang gadis remaja, sakit yang memberikan bekas yang sangat dalam dan perih. Sakit yang tak bisa sembuh dengan hitungan detik. Namun dia selalu berusaha bangkit dalam sakitnya.
#terimakasih Tuhan untuk melody, dan bersyukurlah untuk setiap melody dalam hidup mu

peran.cerita



Dunia ini panggung sandiwara. Sandiwara dalam cerita, dan cerita yang didalamnya terdapat peran, yang kita sebagai pemainya. Dan Tuhan sebagai Penonton, Penulis juga Sutradaranya. Sutradara yang menentukan peran kita. Penulis  yang menentukan endingnya. Dan Penonton yang melihat bagaimana kita, menerima dan menjalankan peran yang diberikanNya dengan baik. Banyak peran yang ada, tidak hanya yang baik dan juga yang jahat. Tapi banyak.

Aku. Juga memerankan peran ku. Peran yang harus berbeda, dan yang harus aku terima. Buakankah tugas kita sebagai pemeran hanyalah menerima peran yang diberikan kepada kita?. Dan bukankah peran yang kita dapat sudah ditentukan denagn baik sesuai kemampuan kita oleh Tuhan?. Dan aku tidak mengerti apakah kita diberi pilihan untuk menganti peran kita?. Jika ya, mungkin… mungkin aku ingin menganti peran ku. Peran yang aku peran kan supaya sama dengan yang lain. Bukan yang berbeda. Aku terlalu mengerti jika memang aku harus mengucap syukur untuk semua yang terjadi untuk ku. Untuk semua yang datang dan pergi dari proses ku. Untuk semua yang menyakitkan dan membahagiakan di dalam rasa ku. Untuk semua yang hitam dan putih di warna hidup ku. Dan untuk semua yang baik ataupun buruk menurut ku. Aku terlalu mengerti jika memang ini yang harus aku peran kan, dan aku sangat mengerti jika memang aku berbeda.

Disini, disudut dan titik ini, aku mencoba untuk berperan sebagai yang egois. Aku memilihnya. Tapi mungkin bukan seperti ini ceritanya. Aku hanya mencoba memebuat cerita sendiri, yang ingin menguntungkan aku. Aku selalu mengalah selama ini, mengalah pada mu, mengalah pada nya, mengalah pada mereka, aku ingin mencoba, apa aku bisa beruntung, beruntung seperti mu, seperti nya, seperti mereka. Ya mencoba. Dan aku letih. Letih karena terlalu sering mencoba. Bukan seperti ini, menutup mata, menutup telinga, menutup mulut, menutup tangan juga kaki, apalagi hati. Bukan. Bukan seperti itu, aku menyerah, aku mengangkat tangan untuk peran ini. Aku tak mampu, aku tak sangup. Ini bukan peran ku

Apa aku salah? Jika aku ingin peran yang sama seperti mu?. Jika aku menginginkan jalan yang sama seperti nya?. Jika aku berharap mendapatkan sesuatu yang sama seperti mereka?. Aku salah, jika aku ternyata lelah?, jika aku ternyata buruk?, dan jika aku ternyata tak sekuat yang orang-orang lihat?. Mungkin memang aku salah. Sangat salah. Yang benar adalah aku harus memerankan peran seperti ini, aku harus sadar bahwa semua yang aku inginkan belum tentu yang terbaik untuk ku, dan aku harus berhenti mengharapkan apa yang orang lain dapatkan, ya, karena memang aku tidak membutuhkanya. Munafik

Aku manusia. Sama seperti mu, seperti nya, seperti mereka. Aku bukan malaikat! Dewa! bahkan Tuhan!. Aku juga ingin ada telingga yang mendengarkan ku, bukan gundah tapi tawa ku. Aku ingin ada mata yang melihat ku, bukan saaat aku tergolek lemah tapi saat aku kuat menggerakan seluruh tubuh ku. Aku juga menginginkan mulut, bukan untuk mengatakan “aku selalu ada untuk mu” tapi yang mengatakan “kamu tidak sendiri”. Aku inginkan tangan, bukan yang menarik ku saat aku terjatuh tapi yang mengngegam tangan ku saat aku akan terjatuh. Aku juga ingin kaki, bukan yang selalu melangkah bersama ku tapi yang berlalri-lari kecil bersama ku menari dibawah hujan. Dan aku sangat mengingikan ada hati, bukan yang sedih saat saat aku sedih tapi yang bahagia saat aku sedang bahagia. Dan untuk hal itu pun aku sadar bahwa aku belum tentu mendapatkanya

Tapi itu bukan peran ku. Tapi peran mu. Itu bukan bagian ku. Tapi bagian nya. Itu bukan cerita ku. Tapi cerita meraka. Aku berbeda. Aku tak sama dengan mu, dengan nya, juga dengan mereka. Aku tak bisa menutup telingga, karena aku harus mendengarkan langkah kaki mu yang berlari gundah menghampiri ku. Aku harus membuaka mata, untuk melihat bahwa ada yang sedang kelelahan menjalani proses hidupnya. Aku juga tak ingin menutup mulut ku, karena ada mereka yang membutuhkan “aku selalu ada untuk mu” dari mulut ku. Aku selalu ingin mengulurkan tangan ku, untuk menarik tubuh mu yang terjatuh didepan ku. Aku juga tak bisa menutup kaki ku rapat-rapat, karena aku harus berlari, menghampir, kemudian melangkah bersama mu. Dan aku harus bisa membuka hati, agar aku bisa ikut merasakan rasa sesak sedih yang sedang berkecambuk di hati mu, di hati nya, juga hati mereka. Ini peran yang Tuhan mau aku dengan apik memerankanya. Ikhlas

Lelah. Tapi Tuhan tak membiarkan aku keletihan memerankan peran ku. Ada telinggaNya yang mau mendengarkan kegundahan ku, saat aku merasa bahwa peran ini tak adil. Ada mataNya yang tak pernah jauh-jauh memandang ku, sangat dekat, saat aku berada didepanNya tergolek sangat lemah. Selalu ada mulutNya yang tak pernah berhenti mengatakan “Aku selalu ada disini, dihati mu, dipikiran mu”, ketika aku mulai merasa  sendirian. Selalu juga ada tanganNya yang mengulurkan, menarik, mendekap saat aku tersungkur, terjatuh, terperosok ditempat yang sangat curam. Juga ada kakinya yang tidak hanya berjalan bersama ku tapi menggendong ku, ketika aku mulai lelah menjalani peran cerita ku. Dan selalu ada hatiNya, yang memberi rasa nyaman, tenang, aman, jika tiba-tiba hati ku merasa sakit, sesak, sedih karena harus menyadari banyak tugas dan tangunggung jawab yang harus aku kerjakan, sendiri.

Aku, kamu, dia, dan mereka. Peran kita berbeda. Cerita kita tak sama. Tapi sang Sutradara telah memilih kamu memerankan peran mu. Sang Penulis sudah menentukan ending yang indah untuk peran yang dia harus jalani. Juga sang Penonton, telah menyiapkan beribu pujian untuk mereka yang memerankan perannya dengan apik, dan siap memberikan applause yang luar biasa untuk ending yang mereka jalan kan dengan sangat baik. Tak terlewatkan juga, untuk ku yang berbeda, yang memang sang Sutradara, sang Penulis, sang Penonton menunjuk ku untuk tak sama seperti mu, seperti nya, seperti mereka. Berbeda

#terimakasih Sutradara, Penulis, dan Penonton

Selasa, 11 Juni 2013

terlalu



Aku mengerti beban mu begitu berat, dan aku tidak ingin menambahi beban mu dengan perasaan ku. Andai aku bisa mengutarakan kata-kata itu. Ah berat. Berlebihan, ya aku terlalu berlebihan, aku ngak ingin…. percayalah aku mengerti. Aku ingin membantu mu, meringankan beban mu, bukan menambahi beban mu. Walau meski aku harus memupuk dalam-dalam semua elemen yang berinisialkan rasa ini, aku akan berusaha jika memang itu cara nya, jika memang itu membuat mu sedikit lega. Meski butuh tenaga ekstra untuk memupuknya.

“Tuhan jika aku tak Kau ijinkan untuk menyayanginya, tapi bolehkan aku meminta ijin untuk mengkhawatirkanya”. Dimana ada khawatir disitu pula ada sayang. Ya seperti itu Tuhan. Sekarang aku tak pernah tau lagi bagaimana kabar mu, bagaimana keadaan mu, aku hanya selalu terus bermain dengan pikiran ku bahwa kamu baik-baik saja. Taukah bahwa aku begitu terlalu mengkhawatirkan mu. Meski aku tau segala sesutu yang terlalu itu tidak baik. Tapi aku juga tak sadar bahwa memang rasa itu sudah masuk dalam zona nyaman ku, zona yang bernama “terlalu”. Entahlah rasanaya begitu terlalu dalam, terlalu jauh, terlalu hebat, iya namanya itu. Bukan aku yang memberinya nama, tapi tiba-tiba datang. Jangankan professional, berpengalamanpun tidak, aku tak bisa mengendalikanya, mencegahnya, aku hanya bisa membiarkanya, memberiarkanya bertumbuh, berkembang, aku takut. Takut. Takut aku berlebihan, ah terlambat.

Terbangun tengah malam, bahkan sering tak bisa tidur, jika tiba-tiba ada sesuatu menyerang ku, entah cemas, atau rindu namanya. “sudahlah jangan ganggu dia” itu yang sering aku ucapkan pada diri ku sendiri, dengan air mata yang tak bisa tertahan. Sakit. Itu, rasanya seperti itu. Aku selalu mengatakan itu berulangkali pada diri ku sendiri, tapi aku selalu  bersikap mengganggu pada diri mu. Kenapa aku tak bisa membiarkanmu? kenapa aku tak bisa menahanya? Kenapa aku yang merasakanya? Kenapa kamu yang harus aku rasakan?, kenapa? Kenapa aku tak bisa menjawabnya?. Ah. Dan terkadang  terlelap karena mengandaikan mu, menbayangkanmu, mengkhayalkanmu, bahkan menangis karena mu. Menangis karena sadar bahwa aku harus munafik, munafik untuk rasa dan sikap yang aku tunjukan berbeda. Rasa ku yang begitu terlalu tak bisa aku tunjukan melalui sikap ku yang harus terlalu juga. Ada batas, aku tau, aku sadar. Bahkan aku juga sudah berusaha keras untuk menahan sikap ku, berusaha keras untuk tidak menjadi beban mu, berusaha keras untuk tidak mengganggu mu, berusaha sangat keras untuk tidak melewati batas itu. Aku berusaha. Aku berusaha, sayang.. pecayalah. Aku berusaha tidak menunjukanya, aku berusaha baik-baik saja, setidaknya terlihat. Tapi ternyata, aku payah. Aku tak bisa, aku tak mampu

Aku berusaha menahanya, menekanya, sakit saat semua itu terluapkan melalui tangis, sesak saat semua itu tertungkan melalui getaran ini. Seperti siang ini, semalaman aku tak bisa tidur. Lelah yang terasa, membuat ku mengandaikan mu tiba-tiba datang, untuk apa? Tak tau, hanya ingin kamu datang. Hujan menambahkan syahdunya bayangan ku tentang kamu, dan dingin membawakan mu dalam mimpi ku. Tiba-tiba aku melihat kamu, berdiri tertunduk didepan jendela rumah, seperti biasanya yang kamu lakukan, namun sedikit aneh, kamu hanya diam tak mengetuknya, seperti berharap aku mencium kedatangn mu. Seperti biasa. Aku berlari kecil menyambutmu dengan suara jantung ku yang tak beraturan, akhirnya kamu datang.. meski aneh karena hujan, yang mengantarkan mu. Aku membukankan pintu untuk mu, dan mendapati mu dalam keadaan bersimpuh, lemas, lusuh. Aku syok, pipi ku basah. Memapahmu untuk berdiri dan menyadarkan mu pada kursi. Seperti habis mabuk, tak sadarkan diri, mengigau, merintih. Aku ketakutan karena tak bisa mendengar mu, aku menangis karena tak tau kamu kenapa. Oh Tuhan apa yang sebenarnya terjadi? Ini apa Tuhan?. Aku mengoyakan bahu mu, mebelai pipi mu, berharap kamu membuka mata. “Kamu kenapa?, apa yang terjadi?, kamu sakit?, kamu berantem?, tolong jawab aku, kamu kenapa? Kenapa seperti ini?.” Tangis ku pecah, aku takut, aku khawatir. Tiba-tiba kamu menarik ku, memeluk ku, menangis “Maaf… Jangan tinggalin aku, jaga perasaan mu supaya jangan menguap, aku perlu kamu, aku mohon..”. Sekali lagi aku syok mendengarnya, aku melihat mu, mengusap air mata mu, menyadarkan mu, lagi. “Jawab aku. Sakit. kamu ngak akan meninggalkan aku?”. Aku tercekat, tak bisa menjawabnya, aku bingung kenapa tiba-tiba seperti ini, apa yang terjadi, hanya diam dan menangis, hanya itu yang bisa aku lakukan. “Dimana yang sakit? Apanya yang sakit? Beritahu aku?” aku mengusap air yang membasahi pipi mu. “Jawab aku! Jawab aku!”, kamu menarik ku lagi, lebih erat, sangat erat, sampai aku merasakan rasa sakit yang kamu rasakan, rasa yang sangat menyakitkan, rasa yang aku tak mengerti kenapa. Aku menahan tangis ku, mencoba untuk kuat, dan membisiki mu “Aku selalu disini, selalu mejaga perasaan ini, tenanglah. Aku disini sayang.”. Lagi kamu memeluk ku, dan aku memeluk mu. erat. 

Aku merasakan pipi ku basah, jantung ku berdegup kencang, nafasku sesak, tubuh ku gemetar. Aku bangun, berlari menuju pintu, dan hanya mendapati hujan, hanya hujan, hujan yang deras. Aku khawatir , menunggu pesan yang aku langsung ku kirim kan untuk mu. semua ini seperti nyata, hujan, tangis, pelukan , rasa sakit, aku, kamu.  Semua seperti nyata bukan mimpi. Ya aku berharap akan menjadi nyata pelukan itu, tapi hanya ingin menjadi mimpi saja, saat melihat mu seperti itu. Entahlah, mungkin karena aku terlalu merindukan mu, atau mungkin perasaan ini terlalu peka, ah aku tak ingin membuat pola dalam pikiran ku sendiri, aku yakin kamu pasti baik-baik saja. Ya pasti. Andai tak ada jarak, ansai kamu mau bercerita lagi, andai aku tau apa yang sedang kamu rasakan, atau apa yang sedang terjadi pada mu. Andai.. andai… mengandai kita seperti dulu lagi. Ya. Aku berharap aku tidak terlalu. Berlebihan

#katakan pada ku bahwa aku terlalu

Jumat, 07 Juni 2013

soundcloud



Ada beberapa rasa yang terkadang hanya bisa diutarakan melalui tulisan, tapi ada rasa juga yang memang harus diutarakan melalui perkataan. Meski mengutarakannya tak selalu bisa secara langsung. Rasa, kekaguman, atau ucapan syukur, tak semua orang Tuhan perlengkapai dengan pribadi yang spontanitas, hanya mampu menulis. Karena mungkin jika melalui tulisan orang masih bisa berfikir ulang untuk apa yang ingin diutarakanya, supaya tidak menyinggung atau menyakiti perasaan orang lain.

Itu adalah pemikiran ku. Ya mungkin memang Tuhan menciptakan aku sebagai pribadi yang lebih senang mengutarakan lewat tulisan, karena jika aku harus mengungkapan secara langsung, jadinya ngak bisa maksimal. Takut perkataan ku, membuat sakit hati, kecewa, atau apalah untuk orang yang mendengarkanya, banyak hal yang harus aku pikirkan, bahkan berulang-ulang sebelum aku mengungkapkanya. Itu semua ku dapat dari  pengalaman.

 Aku lebih suka diam dan mendengarkan jika ada orang yang berbicara. Walaupun sebenarnya aku juga orang yang suka berbicara tapi tak pandai mengungkapkan. Ya.. hanya bisa pandai mengungkapkan jika sedang bercakap dengan Tuhan, tapi sekalinya aku menemukan seseorang yang membuat ku nyaman. Ngak  ada yang bisa menjamin aku bisa diam, kalau aku sudah menemukan seseorang yang seperti itu, meski  perlu waktu, perlu proses untuk menumbuhkan rasa nyaman yang akhirnya berkembang menjadi rasa percaya. Ngak mudah juga membuat ku untuk membuka mulut, agar aku dapat membagikan apa yang sedang aku rasakan, meski aku sudah percaya. Aku hanya ngak ingin menjadi beban untuk orang lain, atau kesanya membagikan beban ku kepada orang lain. Bukankah lebih baik membagikan canda tawa daripada membagikan gundah gulana, yah itulah aku. 

Aku juga ingin belajar untuk berani mengungkapkan secara langsung apa yang aku rasa, sengaknya member isyaratlah. Melalui lagu??? Sing song???. Aha..ya ide bagus. Meski aku tak bisa bernyanyi tapi aku suka menyanyi, meski tak enak didengar tapi aku suka mendengarkannya, semacam percaya diri yang berlebihan. Tapi percayalah baru kali ini aku memberanikan diri melakukan hal konyol ini. 

Terserahlah orang mau suka atau engak, orang mau denger atau engak, orang mau tepuk tangan atau engak, orang mau memuji atau engak. Aku juga ingin seperti yang lain yang tak memikirkan dahulu apa yang aku ingin diungkapkan. Orang mau mencibir?, tutup telinga?, menghujat? Monggo, silahkan. Itu hak mereka, dan aku juga punya hak untuk merekam suara ku dan mengupload nya, terlalu percaya diri? Iya hahhahaha, sebenernya pengen

Dan disini… www.soundcloud.com/eunikeranjani  Aku akan menunjukan sisi lain dari kesukaan ku, yes this is my soundcloud. Selamat mendengarkan, selamat tutup telinga, dan selamat tertawa, upah mu besar disurga kawan hahah

#Pasti akan membuat ku dan membuat mu tertawa :D

Kamis, 06 Juni 2013

menggegam..melepas..


Kenapa ada celah diantara jemari, Karena pada waktuNya nanti akan ada jemari lain yang melengkapai nya. Pada waktuNya nanti akan ada jemari yang menggegam jemari ini, dalam keadaan apapun, dimanapun, sampai kapanpun. Karena itu aku sangat menyukai genggaman, apalagi genggaman dari tangan mu. Genggaman yang membuat ku kuat, yang membuat ku merasa bahwa aku ternyata tak sendiri, yang membuat ku tersadar bahwa ternyata ada kamu. Ya hanya aku, buat ku.

Aku tau apa yang aku sentuh belum tentu bisa aku genggam, apa yang aku inginkan belum tentu bisa aku dapatkan. Yang terpenting aku sudah berusaha melakukan yang terbaik dengan tulus, berusaha bukan untuk mendapatkan, tapi berusaha untuk mempertahankan ini. Aku tak akan maju untuk menunjukan seberapa dalam, jauh, dan hebat rasa ku, namun aku juga tak akan mundur untuk menunjukan bahwa aku telah lelah, jenuh, dan sakit. Tapi sekali lagi aku akan tetap disini bertahan, untuk rasa yang Tuhan ijinkan datang kepada ku.

Aku yang dulu terbiasa menggegam tangan ini sendiri, tiba-tiba Tuhan mengirimkan tangan mu, yang tidak hanya menyentuh ku tapi juga menggegam tangan ku, menarik ku, mengandeng ku. Dan dengan tiba-tiba pula sekarang kamu melepaskan genggaman ini, entah karena apa, mungkin karena kamu malu ? karena aku yang terlalu biasa? Aku bukan yang istimewa? Aku bukan yang kamu inginkan?. Hanya bisa percaya, selalu percaya, dan tetap percaya untuk hal yang kamu tak mengerti dan aku tak tau. Hanya bisa menggegamnya sendiri, sendiri sekarang, karena tak ada kamu. Aku harus kembali pada masa itu, masa dimana aku bisa menggegam tangan ku sendiri, tapi tak semudah merekatkan kedua tangan ini seperti dulu lagi yang  belum terjamah tangan siapapun, namun sesulit melepaskan bayangan tangan mu dari tangan ku, sesulit aku menyadari bahwa kamu keberatan dengan tangan ku ini. Terlepas atau melepas, yang berarti bukan menggegam. Aku atau kamu yang berarti bukan kita. Ikhlas 

Kita, bukan menjadi doa ku. Tapi  kamu, yang dari dulu dan sampai saat ini ada dalam doa ku. Dulu sebelum aku mengenal nama mu, aku selalau berdoa untuk sosok seperti mu. sekarang kamu hadir  dengan sosok yang ada didalam doa ku. Mungkin karena itu, karena doa ku yang terwujudkan melalui kedatangan mu aku bertahan, bukan menginginkan. Bukan memaksa. Bukan, aku tau konsekuansi dari hubungan yang dipaksa kan, walaupun aku tak berpengalaman dalam berhubungan, tapi aku mendengar dan melihat banyak hal itu, kemudian aku belajar. Mungkin memang terpaksa membuat terbiasa, namun aku tak pernah menginginkan kamu terpaksa bahkan kamu mekmaksa diri  mu sendiri untuk sama merasakan apa yang aku rasa. Beralaskan kasihan atau tak tega dengan ku. Jangan, aku mohon, ingat aku hebat, aku tak perlu belas kasihan mu. Aku memilih kejujuran yang pahit, daripada kebohongan yang manis, karena pahit itu yang menguatkan ku.

Jika kamu meminta ku untuk melepaskanya aku akan melepaskanya,melepaskan genggaman ini bukan berarti aku juga akan melepaskan rasa ku. Kamu punya hak untuk memintanya, dan  akupun juga memiliki hak untuk mempertahankanya. Adil kan? Semoga. Meski aku tau ini sukar tapi aku tak meminta lebih, hanya biarkan aku disini menggegam tangan ku, menutup mata ku, menyebutkan nama mu, dalam doa ku bertumbuh dengan rasa ini. Biarkan aku seperti ini, menulis kan semua rasa yang tertahan, menuliskan semua rasa yang aku sadar aku sendiri yang menahanya. Hiraukan  apa yang kamu baca, jangan dengarkan semua rengekan-rengekan manja ku, tak perlu juga kamu menoleh saat aku berteriak rindu. Biarkan aku berlajar bersama setia, maka aku juga akan membiarkanmu belajar bersama mereka. Lakukanlah apa yang ingin kamu lakukan, aku tak akan menahan mu, tak akan aku mencegah mu. berjalanlah, aku tak akan mengganggumu. Jika kamu menghendakinya aku akan merealisasikanya, kamu tak menginginkan pagi aku juga tak akan lagi memberikan pagi, aku tersadar jika kamu telah bosan dengan tangan ini. Aku juga sangat sadar jika sekarang kamu memilih genggaman tangan lain.

Berat. sangat.. saat aku menyadari bahwa setiap sudut ini banyak kenangan yang tercipta karena pertemuan dengan hasil genggaman ini. Lagi-lagi gengaman ini, disetiap pertemuan kita, tangan ku yang tak pernah ingin lepas dari jerat tangan mu mewujudkan sebuah nama yaitu kenangan. Kenangan yang aku sendiri tak tau kapan bermulanya dan kenangan yang aku juga tak tau kapan akhirnya. Seperti lingkaran yang tak mengerti dari mana awalnya dan dimana ujungnya. Ya seperti itulah, seperti lingkaran itu, tak akan mudah bagi ku, karena kamu telah melingkar, disini.. dimana? Aku yakin kamu tau  tempatnya.

Tak ada yang salah, tak ada. Waktu, keadaan, kesempatan, perkenalan, berbincangan, rasa atau bahkan aku dan kamu, tak ada yang salah. Yah ini cerita yang harus dijalani, cerita yang harus diperankan, cerita antara dua tangan yang tak ingin melepaskan tapi juga tak dapat menggegam. Cerita yang Tuhan mau kita berdua memerankanya, cerita yang Tuhan minta kita berdua yang merasakanya, cerita yang Tuhan tak ingin kita menentukanya, cerita yang Tuhan tak mengijinkan kita mengetahui endingnya. Cerita. Cerita. Ya cerita, cerita yang akan menjadi warna dalam hidup kita, warna merah, hitam, putih, atau bahkan abu. Tak akan aku simpulkan warna ku dan warna mu juga semuanya sendiri, tapi akan aku serahkan semuanya melalui kegua tangan ku yang merapat, melalui sepuluh jari ku yang saling mengisi, melalui genggaman ku yang tak kan terlepas. 

#aku ikhlas jika kamu menggegam tangan lain dan melepaskan genggaman ku

perindu yang merindu

Hujan, terimakasih telah menemani ku bersama rasa  ku. Aku senang jika kau hadir, karena tak perlu aku berlari ke kamar lalu menutup pintu, menenggelam kan wajah ku dibawah buku dan memutar music karas, karena itu hanya akan menimbulkan kecurigaan. Namun jika kau hadir aku tinggal berlari menghampiri mu dan menyembunyikan tangis ku di bawah rintik mu. aku seneng jika kau hadir karena suara mu, aku bisa menyembunyikan getaran suara tangis ku tanpa aku harus menahanya, sesak. Aku senang jika kau hadir karena aku masih bisa memperlihatkan sukacita ku diatas kepedihanku, dengan menari bersamamu. Dan jika kau hadir aku merasa bahwa Tuhan juga menangis saat melihat ku kesakitan ketika rindu menghampiri ku.

Apa kamu bosan jika terus menjemputku dan mengantarkan ku?. Aku? Kamu bertanya pada ku? Jelas aku tak pernah bosan, aku menantikan mu. aku kesepian, hanya kamu, rembulan dan mentari yang mau bergantian menemani ku. Tak apa, aku sudah terbiasa, meski tak baik tapi aku baik-baik saja, walau banyak aktifitas yang harus aku kerjakan di luar rumah, kamu tak perlu mengantarkan atau menemani ku untuk kali ini saja. Tapi tolong sampaikan pada rembulan supaya dia memberikan cahayanya untuknya yang sedang sibuk beraktifitas. Hujan, apa menurut mu aku terlalau pengecut karena tak berani mengirimkan pesan semangat untuk nya? Ah aku takut mengganggu kesibukanya. Sibuk dengan apa, siapa, atau sibuk kenapa aku juga tak tau, dan ternyata benar tidak semua hal tentang nya akau tau. Aku juga tak ingin mencari tau, berharap dia datang mengetuk pintu rumah hanya untuk sekedar menceritakan atau bahkan berkeluhkesah dipundak ku. 

Iya, benar, terlalu muluk harapan ku jika dia datang, harusnya aku berharap dulu dia mengirim pesan untuk ku. Pesan yang tak hanya mentari yang menyaksikanya, tapi kamu, juga rembulan ikut menyaksikanya. Aku tidak mengharuskan, tidak sama sekali aku hanya khawatir. Kamu mendengarkan juga kan saat aku berbincang denganNya, meminta padaNya, agar Dia menjaganya supaya  selalu baik-baik saja. Bukankah aku, sebagai perindu memang harus terkadang merelakan kecintaan ku untuk kesenanganya, kesenangan apa?. terserah
Malam ini, dari atas sini melihat yang tak bisa dilihat dari dekat, dan merasa yang terkadang sulit dirasa saat dekat. Aku mananti mu hujan, aku dilanda rindu, aku tak ingin memperlihatkan kegundahan ku, aku ingin menari bersama mu. Kenapa kamu menghilang hujan, tak bisa aku menitipkan padamu. Tapi masih ada kamu rembulan yang menemani ku. Aku titip “rindu” ku untuknya, rindu yang sering datang dan membuat ku merasa sesak, rindu yang tak bisa aku cegah, rindu yang selalu memeluk ku.terlalu sering aku melihat layar pesan ini, berharap ada nama nya muncul, tapi ah.. hanya ada pesan-pesan dari nya yang tersimpan rapi di kotak ini. Menjadi obat disaat rindu itu menjamah ku. Bagaimana bisa aku mengungkapkan ridu ku jika tak ada komunikasi, jika setiap ucapan ku tak dibalasnya rembulan.

Aku merindukanya rembulan, merindukan senyumanya, suaranya, matanya, rengkuhanya, jemarinya, langkahnya. Ah kenapa harus ada rindu, karena tak ada waktu untuk bersua?, karena tak ada dua bibir yang saling berucap?, karena tak ada suara yang saling menggetarkan?, karena tak ada mata yang saling memandang?, tak ada hangat dekapan?, tak ada jemari-jemari yang saling menari? Dan tak ada kaki yang saling beriringan?. Aku bisa menciptakan rindu rembulan, tapi kenapa aku tak bisa menciptakan waktu. Bodoh. Aku bukan Tuhan!! 

Yah. ku kira kamu tak datang, ternayata  hujan menjemputku lagi. Aku sudah terlanjur menitipkan pada rembulan, tapi tak apa, seperti biasa aku titip pesan untuknya “aku masih menunggumu”. Sekarang ada hujan juga rembulan, aku tak kesepian ya.. mulut ku berucap seperti itu, tapi hati ku? Sepi.. tak ada kamu yang aku rindu. Terimakasih hujan untuk kesetiaan mu, yang mengantar dan menjemput ku. Terimakasih Tuhan untuk setia yang kau berikan kepada ku untuknya. Yah untuk nya, ah aku tak ingin meneruskan kalimat ku. Bukankah setia bukan berarti selalu ada dekat pasangan, tapi setia adalah selalu menutup hati untuk orang lain meski tak ada pasangan. Iya,meski ada A, B, C,D bahkan Z, aku terlampau setia, bukan untuk mereka yang merindukan ku, tapi dia yang aku rindukan.

Aku tak merindukan ice cream yang selalu mereka bawa, aku tak merindukan selamat pagi, siang, sore, bahkan malam yang mereka kirimkan, aku tak merindukan kepastian, kejelasan yang mereka tawarkan, aku tak merindukan kehadiran atau sosok yang mereka ciptakan. Aku merindukan dia, mentari. Merindukan dia yang walau hanya memberikan selamat pagi untuk mu, merindukan dia bersama celotehanya yang jarang aku dengarkan, merindukan tingkah konyolnya yang tak setiap hari aku melihatnya, merindukan mimic wajahnya yang selalu menggoda ku, aku merindukan gelak tawanya yang membuat ku lepas, merindukan tatapanya yang bisa membuat ku tersipu malu, merindukan suara degup jantungnya yang membuat ku merinding, merindukan genggaman tanganya yang selalu basah. Aku merindukanya. Aku merindukanya. Aku merindukanya mentari. Aku perindu yang merindukanya.

Aku memang sedang tidak baik. Makasih karena telah mengantarkan ku sampai rumah hujan. Terlalu kacau hari ini untuk ku, terlalu padat aktifitas ku hari ini, terlalau banyak orang-orang yang memebuat ku sakit hari ini, dan terlalu rindu aku pada nya. Mentari tak menitipkan sesuatu apapun darinya untuk ku hujan, mungkin itu aku menjadi uring-uringan hari ini, pesan ku pun tak dibalas olehnya, ah tak apa sudah terbiasa. Aku juga tak mengharapkan balasan apapun aku tulus melakukan itu semua, rembulan juga menyaksikanya, biarlah aku ikhlas. Aku ikhlas menjadi perindu..

Perindu yang merindu
Perindu yang tak ingin mengganggu aktifitasnya
Perindu yang menahan semua rasa, agar tak ada yang tersakiti
Perindu yang selalu membawa namanya dalam perbincangan nya dengan Nya
Perindu yang merindukan bahwa dia juga merindu

#perindu yang tak ingin merasakan rindu, tapi yang ingin merasakan pertemuan