Tuhan
mencintai nya dengan cara yang berbeda. Berbeda, yang berarti tak sama. Iya,
tak sama, berbeda. Melody. Seorang gadis yang Tuhan inginkan berbeda.
Tujuh tahun yang lalu, dimana Melody
harus menerima kenyataan bahwa Tuhan menunjuknya untuk menyatakan bahwa Tuhan
sangat mencintainya, mencintainya dengan cara berbeda.
Gadis kecil
yang sangat manja, yang mendapatkan apa yang selalu dia inginkan, bertumbuh
ditengah keluarga yang harmonis,
iya, sebelum tujuh tahun yang
lalu. Sehari bisa dua kali Melody mendapatkan boneka Barbie kesukaanya,
seminggu bisa dua kali Melody berjalan bersama ayah dan ibunya untuk sekedar
berkeliling kota,
sebulan bisa dua kali Melody mendapat baju baru. Melody menjadi putri kecil,
yang setiap pagi berbagi canda tawa dengan ibunya, setiap sore bermain bersama
teman-temanya dan setiap malam, selalu, sebelum dia beranjak tidur didongengkan oleh ayahnya. Ayah adalah sosok
yang menjadi idolanya, dulu. Ibu menjadi sosok yang selalu memperhatikanya, dulu.
Dulu. Dulu sekali, sebelum Melody harus menerima kenyataan yang mungkin
seharusnya tak dia terima diusianya yang masih ingin bersenang-senang,
diusianya yang seharusnya tak memikirkan jauh kedepan, diusianya yang harusnya
bisa tertawa, bercanda, tiba-tiba diproses untuk menerima kasihNya.
Pernah suatu
ketika, kala itu. Melody mengalami sakit mendadak. Mendadak panas, mendadak tak
bisa bangun, mendadak lemas, mendadak tak mau bicara, mendadak tak mau
mendengar, mendadak tak mau membuka mata, mendadak membuat seluruh keluarganya
menangis, mendadak. Mendadak Melody merasakan sakit yang menyesakan dadanya,
mendadak merasakan kesakitan yang begitu luar biasa, saat apa yang dia dengar
dan apa yang dia lihat tak sama, sangat berbeda. “ndug, kenapa? Bilang ndug
sama bulik, jangan cuma diam saja ndug” pinta tantenya yang saat itu tak kuasa
melihat keadaan Melody. “ndug, pengen apa? Ice cream? Baju?, apa ndug? Nanti
eyang belikan”, bisikan lembut neneknya, yang menggetarkan setiap orang yang
ada disitu. “ndug, siapa yang nakali kamu cah ayu,?” Tanya kekwatiran itu
diperdengarkan oleh tantenya. “ndug, maem ya, mau apa? disuapin ibu ya ndug”,
ibu, iya suara ibu terdengar oleh Melody. Terdengar langkah kaki setengah
berlari sambil terisak “ndug, lihat ndug, lihat tante belikan baju buat kamu
lihat ndug, ayo dibuka ndug matanya” kalimat yang akhirnya memecahkan tangis
yang tertahan, namun Melody hanya diam, menutup mata, menahan, menahan agar
semua orang tak merasakan rasa sakit yang ia rasakan, menahan agar air mata
yang ia tahan tak menambah banyaknya air yang sudah meluap. Melody hanya
menutup mata tak ingin melihat bayangan yang terus menyakitkan terlihat lagi
didepanya, Melody hanya menutup telingga agar dia tak mendengarkan lagi
suara-suara yang menawarkan kebahagiaan untuknya, Melody tak mau membuka
mulutnya untuk mengutarakan rasa sakit, sakit yang membuatnya tiba-tiba
mendadak seperti itu. Tiba-tiba, tiba-tiba Melody harus melihat sosok yang
mengajarkanya kasih, harus membagikan kasihnya kepada buah cintanya bersama
wanita lain. Iya, Melody melihatnya, melihat bayi mungil yang tidak berdosa
digendong oleh seseorang yang gagah, yang selama ini Melody anggap sebagai
idola, yang setiap malam mendongengkan tentang perumpamaan kasih, mengajarkan Melody
lagu-lagu yang selalu dia ingat, dia sukai. Sosok itu berjalan di depanya,
memberikan senyumanya, senyum yang Melody tidak tau apa artinya, senyum yang
sudah tak ingin lagi dilihat Melody, senyum yang menyakiti hatinya. Mulai dari
itu, saat itu, kala itu, Melody tak ingin mengenal sosok itu, bahkan tak ingin
memanggil sosok itu dengan sebutan, ayah.
Melody harus
berjuang menahan keinginya memiliki boneka Barbie seperti kepunyaan
teman-temanya, baju baru sperti yang sering dipakai saudara-saudaranya, atau sekedar
jalan-jalan ke mengelilingi kota,melihat
lampu-lampu yang indah lagi. Melody kecil, tak bisa lagi menjadi Melody yang
manja, yang sebentar-sebentar menangis karena tak bisa mendapatkan apa yang dia
inginkan. Tapi Melody kecil tak ingin membebani ibunya, dia bisa menahanya,
menahan apa yang dia inginkan, dia terlalu sadar jika ternyata hidupnya telah
berubah. Melody tak ingin menambah berat langkah kaki ibunya yang setiap hari
harus bangun pagi, kedinginan, tapi dengan hangat, tangan kirinya mendekap
Michael, dan dengan kuat tangan kananya mengandeng Melody. Iya Melody melihat, mendengar, merasakan
bagaimana perjuangan ibunya. Hanya ibunya. Melody terpaksa harus membiasakan
diri dengan keadaan yang tak sama lagi. Melody tak begitu saja menutup matanya,
tapi dia memmbuka matanya lebar-lebar untuk melihat kehidupan, kehidupan yang
harus dia jalani. Kehidupan yang tak bisa membuatnya memilih lari, yang ada
hanyalah pilihan bahwa dia harus tetap berjuang maju. Karena kalaupun ada
pilihan lari dia tak tahu harus lari menuju siapa?, harus lari sekencang apa?,
ya Melody memilih maju, maju untuk melihat rencana indah apa yang telah Tuhan
siapkan untuk nya.
Tujuh tahun
silam, tapatnya saat melody berumur enam tahun. Enam tahun? ,iya enam tahun
kala itu. Dia harus diperhadapan dengan sesuatu yang membuatnya harus menahan
rasa sakit dari, perpisahan, pengkhianatan, perselingkuhan. Dia harus bertumbuh
tanpa adanya kasih sayang, perhatian, kepedulian, dia bertumbuh dengan
kemandirianya, ketakutanya, keminderanya. Mandiri karena dia harus bisa melakukan
apapun sendiri, takut jika kelak dimasa depanya dia menemukan sosok yang memebuat
dia merasakan rasa sakit yang sama, dan minder karena tak ada sosok yang
memberinya support, semangat, dorongan yang membuatnya lebih maju. Seratus
delapan puluh drajat, hidupnya berputar
Waktu
berjalan, tak membuatnya menjadi pribadi yang lemah melainkan kuat, proses,
apayang dia liahat, dengar, rasakan tak membuatnya menyerah, tapi membuatnya
berjuang. Meski dia berbeda, dia ingin membuktikan bahwa dia juga bisa
melakukan hal yang orang lain sama lakukan. Dia ingin menguatkan orang-orang
disektarnya. Dan sampai akhirnya Melody harus memperkuat hatinya untuk menahan
hati yang harus tersakiti lagi, memperkuat telingganya untuk setiap apa yang
orang bicarakan tentang keluarganya, dan terlebih memperkuat mata untuk melihat
keharmonisan dari setiap keluarga yang dialihat. Salahkah jika dia tak ingin
bermimpi? Ya dia tak ingin melambungkan semua khayalanya, khayalan bisa makan
bersama dimeja makan bersama keluarganya, khayalan bisa bersendau gurau setiap
malam didepan televisi, dan khayalan dia bisa bertukar pikiran saat dia
mengalami sesuatu yang sulit untukdipecahkan, simple. Hanya itu, tapi terlalu
rumit dan sakit jika harus terus dikhayalkan. Ini bukan mimpi, yang ketika bangun
dia tak bisa merasakanya, tapi ini dunia nyata, dunia yang harus dia rasakan.
Nyata, senyata senyuman kebahagiaan yang tidak pernah dia lihat lagi setelah tujuh
tahun yang lalu. Senyuman manja yang terlukis dari bibir ibunya saat sedang
berceloteh dengan seorang pria. Setiap hari, setiap melody pulang sekolah, dia selalu
melihat perhatian yang dia harapkan bisa didapatnya, terpapang nyata didepanya dan
orang lain yang mendapatkanya “apa arti kehadiran ku dan Michael? kenapa tak
bisa membuat ibu tersenyum bahagia seperti saat bersama pria itu? Apa ibu tak
bahagia jika hanya memilki aku dan Michael ?”. Capek. Raganya juga hatinya. Kenapa
harus menerima sakit lagi, kenapa tak ada yang bisa membuatnya percaya akan
yang namanya kasih sayang. Tapi dia selalu berusaha membuat orang disekitarnya
tak merasakan rasa yang dia rasakan. Berusaha selalu melakukan yang
terbaik,meski apa yang dia terima tak selalu baik. “Cukup aku” ucapnya
Sampai detik
ini, ketika Tuhan memberi aku kesempatan berbincang denganya, ketika Tuhan
ijinkan aku mendengar kisahnya, ketika Tuhan
menginginkan aku menghampirinya setelah dia meniup lilin putih diatas
kertas yang bergambar roti tar dengan gambar lilin angka tigabelas di atasnya, dan
ketika Tuhan mempercayakan aku untuk mengusap air matanya, aku pilu melihat mata
ketakutan itu. Ketakutan dengan yang namanya cinta, kasih sayang. “itu mengapa
aku tak bisa percaya dan tak mau percaya lagi dengan cinta dan kasih. Aku takut
merasakan rasa sakit lagi. Disini masih sangat terasa sakit” kalimat itu bukan hanya aku dengar, tapi juga selalu terngiang-ngiang
dipikiran ku. Dan membuat ku merasakan sakit itu juga, sakit yang dirasakan
oleh seorang gadis remaja, sakit yang memberikan bekas yang sangat dalam dan
perih. Sakit yang tak bisa sembuh dengan hitungan detik. Namun dia selalu
berusaha bangkit dalam sakitnya.
#terimakasih
Tuhan untuk melody, dan bersyukurlah untuk setiap melody dalam hidup mu