Aku mengerti beban mu begitu
berat, dan aku tidak ingin menambahi beban mu dengan perasaan ku. Andai aku
bisa mengutarakan kata-kata itu. Ah berat. Berlebihan, ya aku terlalu
berlebihan, aku ngak ingin…. percayalah aku mengerti. Aku ingin membantu mu, meringankan
beban mu, bukan menambahi beban mu. Walau meski aku harus memupuk dalam-dalam
semua elemen yang berinisialkan rasa ini, aku akan berusaha jika memang itu
cara nya, jika memang itu membuat mu sedikit lega. Meski butuh tenaga ekstra
untuk memupuknya.
“Tuhan jika aku tak Kau
ijinkan untuk menyayanginya, tapi bolehkan aku meminta ijin untuk
mengkhawatirkanya”. Dimana ada khawatir disitu pula ada sayang. Ya seperti itu
Tuhan. Sekarang aku tak pernah tau lagi bagaimana kabar mu, bagaimana keadaan
mu, aku hanya selalu terus bermain dengan pikiran ku bahwa kamu baik-baik saja.
Taukah bahwa aku begitu terlalu mengkhawatirkan mu. Meski aku tau segala sesutu
yang terlalu itu tidak baik. Tapi aku juga tak sadar bahwa memang rasa itu sudah
masuk dalam zona nyaman ku, zona yang bernama “terlalu”. Entahlah rasanaya
begitu terlalu dalam, terlalu jauh, terlalu hebat, iya namanya itu. Bukan aku
yang memberinya nama, tapi tiba-tiba datang. Jangankan professional,
berpengalamanpun tidak, aku tak bisa mengendalikanya, mencegahnya, aku hanya
bisa membiarkanya, memberiarkanya bertumbuh, berkembang, aku takut. Takut.
Takut aku berlebihan, ah terlambat.
Terbangun tengah malam,
bahkan sering tak bisa tidur, jika tiba-tiba ada sesuatu menyerang ku, entah
cemas, atau rindu namanya. “sudahlah jangan ganggu dia” itu yang sering aku
ucapkan pada diri ku sendiri, dengan air mata yang tak bisa tertahan. Sakit.
Itu, rasanya seperti itu. Aku selalu mengatakan itu berulangkali pada diri ku
sendiri, tapi aku selalu bersikap
mengganggu pada diri mu. Kenapa aku tak bisa membiarkanmu? kenapa aku tak bisa
menahanya? Kenapa aku yang merasakanya? Kenapa kamu yang harus aku rasakan?,
kenapa? Kenapa aku tak bisa menjawabnya?. Ah. Dan terkadang terlelap karena mengandaikan mu,
menbayangkanmu, mengkhayalkanmu, bahkan menangis karena mu. Menangis karena sadar
bahwa aku harus munafik, munafik untuk rasa dan sikap yang aku tunjukan
berbeda. Rasa ku yang begitu terlalu tak bisa aku tunjukan melalui sikap ku
yang harus terlalu juga. Ada
batas, aku tau, aku sadar. Bahkan aku juga sudah berusaha keras untuk menahan
sikap ku, berusaha keras untuk tidak menjadi beban mu, berusaha keras untuk tidak
mengganggu mu, berusaha sangat keras untuk tidak melewati batas itu. Aku
berusaha. Aku berusaha, sayang.. pecayalah. Aku berusaha tidak menunjukanya,
aku berusaha baik-baik saja, setidaknya terlihat. Tapi ternyata, aku payah. Aku
tak bisa, aku tak mampu
Aku berusaha menahanya,
menekanya, sakit saat semua itu terluapkan melalui tangis, sesak saat semua itu
tertungkan melalui getaran ini. Seperti siang ini, semalaman aku tak bisa
tidur. Lelah yang terasa, membuat ku mengandaikan mu tiba-tiba datang, untuk
apa? Tak tau, hanya ingin kamu datang. Hujan menambahkan syahdunya bayangan ku tentang
kamu, dan dingin membawakan mu dalam mimpi ku. Tiba-tiba aku melihat kamu,
berdiri tertunduk didepan jendela rumah, seperti biasanya yang kamu lakukan,
namun sedikit aneh, kamu hanya diam tak mengetuknya, seperti berharap aku
mencium kedatangn mu. Seperti biasa. Aku berlari kecil menyambutmu dengan suara
jantung ku yang tak beraturan, akhirnya kamu datang.. meski aneh karena hujan,
yang mengantarkan mu. Aku membukankan pintu untuk mu, dan mendapati mu dalam
keadaan bersimpuh, lemas, lusuh. Aku syok, pipi ku basah. Memapahmu untuk berdiri
dan menyadarkan mu pada kursi. Seperti habis mabuk, tak sadarkan diri, mengigau,
merintih. Aku ketakutan karena tak bisa mendengar mu, aku menangis karena tak
tau kamu kenapa. Oh Tuhan apa yang sebenarnya terjadi? Ini apa Tuhan?. Aku
mengoyakan bahu mu, mebelai pipi mu, berharap kamu membuka mata. “Kamu kenapa?,
apa yang terjadi?, kamu sakit?, kamu berantem?, tolong jawab aku, kamu kenapa?
Kenapa seperti ini?.” Tangis ku pecah, aku takut, aku khawatir. Tiba-tiba kamu
menarik ku, memeluk ku, menangis “Maaf… Jangan tinggalin aku, jaga perasaan mu
supaya jangan menguap, aku perlu kamu, aku mohon..”. Sekali lagi aku syok
mendengarnya, aku melihat mu, mengusap air mata mu, menyadarkan mu, lagi. “Jawab
aku. Sakit. kamu ngak akan meninggalkan aku?”. Aku tercekat, tak bisa
menjawabnya, aku bingung kenapa tiba-tiba seperti ini, apa yang terjadi, hanya
diam dan menangis, hanya itu yang bisa aku lakukan. “Dimana yang sakit? Apanya
yang sakit? Beritahu aku?” aku mengusap air yang membasahi pipi mu. “Jawab aku!
Jawab aku!”, kamu menarik ku lagi, lebih erat, sangat erat, sampai aku
merasakan rasa sakit yang kamu rasakan, rasa yang sangat menyakitkan, rasa yang
aku tak mengerti kenapa. Aku menahan tangis ku, mencoba untuk kuat, dan
membisiki mu “Aku selalu disini, selalu mejaga perasaan ini, tenanglah. Aku
disini sayang.”. Lagi kamu memeluk ku, dan aku memeluk mu. erat.
Aku merasakan pipi ku basah,
jantung ku berdegup kencang, nafasku sesak, tubuh ku gemetar. Aku bangun,
berlari menuju pintu, dan hanya mendapati hujan, hanya hujan, hujan yang deras.
Aku khawatir , menunggu pesan yang aku langsung ku kirim kan untuk mu. semua ini seperti nyata, hujan,
tangis, pelukan , rasa sakit, aku, kamu. Semua seperti nyata bukan mimpi. Ya aku
berharap akan menjadi nyata pelukan itu, tapi hanya ingin menjadi mimpi saja,
saat melihat mu seperti itu. Entahlah, mungkin karena aku terlalu merindukan
mu, atau mungkin perasaan ini terlalu peka, ah aku tak ingin membuat pola dalam
pikiran ku sendiri, aku yakin kamu pasti baik-baik saja. Ya pasti. Andai tak
ada jarak, ansai kamu mau bercerita lagi, andai aku tau apa yang sedang kamu
rasakan, atau apa yang sedang terjadi pada mu. Andai.. andai… mengandai kita
seperti dulu lagi. Ya. Aku berharap aku tidak terlalu. Berlebihan
#katakan pada ku bahwa aku
terlalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar