Selasa, 11 Juni 2013

terlalu



Aku mengerti beban mu begitu berat, dan aku tidak ingin menambahi beban mu dengan perasaan ku. Andai aku bisa mengutarakan kata-kata itu. Ah berat. Berlebihan, ya aku terlalu berlebihan, aku ngak ingin…. percayalah aku mengerti. Aku ingin membantu mu, meringankan beban mu, bukan menambahi beban mu. Walau meski aku harus memupuk dalam-dalam semua elemen yang berinisialkan rasa ini, aku akan berusaha jika memang itu cara nya, jika memang itu membuat mu sedikit lega. Meski butuh tenaga ekstra untuk memupuknya.

“Tuhan jika aku tak Kau ijinkan untuk menyayanginya, tapi bolehkan aku meminta ijin untuk mengkhawatirkanya”. Dimana ada khawatir disitu pula ada sayang. Ya seperti itu Tuhan. Sekarang aku tak pernah tau lagi bagaimana kabar mu, bagaimana keadaan mu, aku hanya selalu terus bermain dengan pikiran ku bahwa kamu baik-baik saja. Taukah bahwa aku begitu terlalu mengkhawatirkan mu. Meski aku tau segala sesutu yang terlalu itu tidak baik. Tapi aku juga tak sadar bahwa memang rasa itu sudah masuk dalam zona nyaman ku, zona yang bernama “terlalu”. Entahlah rasanaya begitu terlalu dalam, terlalu jauh, terlalu hebat, iya namanya itu. Bukan aku yang memberinya nama, tapi tiba-tiba datang. Jangankan professional, berpengalamanpun tidak, aku tak bisa mengendalikanya, mencegahnya, aku hanya bisa membiarkanya, memberiarkanya bertumbuh, berkembang, aku takut. Takut. Takut aku berlebihan, ah terlambat.

Terbangun tengah malam, bahkan sering tak bisa tidur, jika tiba-tiba ada sesuatu menyerang ku, entah cemas, atau rindu namanya. “sudahlah jangan ganggu dia” itu yang sering aku ucapkan pada diri ku sendiri, dengan air mata yang tak bisa tertahan. Sakit. Itu, rasanya seperti itu. Aku selalu mengatakan itu berulangkali pada diri ku sendiri, tapi aku selalu  bersikap mengganggu pada diri mu. Kenapa aku tak bisa membiarkanmu? kenapa aku tak bisa menahanya? Kenapa aku yang merasakanya? Kenapa kamu yang harus aku rasakan?, kenapa? Kenapa aku tak bisa menjawabnya?. Ah. Dan terkadang  terlelap karena mengandaikan mu, menbayangkanmu, mengkhayalkanmu, bahkan menangis karena mu. Menangis karena sadar bahwa aku harus munafik, munafik untuk rasa dan sikap yang aku tunjukan berbeda. Rasa ku yang begitu terlalu tak bisa aku tunjukan melalui sikap ku yang harus terlalu juga. Ada batas, aku tau, aku sadar. Bahkan aku juga sudah berusaha keras untuk menahan sikap ku, berusaha keras untuk tidak menjadi beban mu, berusaha keras untuk tidak mengganggu mu, berusaha sangat keras untuk tidak melewati batas itu. Aku berusaha. Aku berusaha, sayang.. pecayalah. Aku berusaha tidak menunjukanya, aku berusaha baik-baik saja, setidaknya terlihat. Tapi ternyata, aku payah. Aku tak bisa, aku tak mampu

Aku berusaha menahanya, menekanya, sakit saat semua itu terluapkan melalui tangis, sesak saat semua itu tertungkan melalui getaran ini. Seperti siang ini, semalaman aku tak bisa tidur. Lelah yang terasa, membuat ku mengandaikan mu tiba-tiba datang, untuk apa? Tak tau, hanya ingin kamu datang. Hujan menambahkan syahdunya bayangan ku tentang kamu, dan dingin membawakan mu dalam mimpi ku. Tiba-tiba aku melihat kamu, berdiri tertunduk didepan jendela rumah, seperti biasanya yang kamu lakukan, namun sedikit aneh, kamu hanya diam tak mengetuknya, seperti berharap aku mencium kedatangn mu. Seperti biasa. Aku berlari kecil menyambutmu dengan suara jantung ku yang tak beraturan, akhirnya kamu datang.. meski aneh karena hujan, yang mengantarkan mu. Aku membukankan pintu untuk mu, dan mendapati mu dalam keadaan bersimpuh, lemas, lusuh. Aku syok, pipi ku basah. Memapahmu untuk berdiri dan menyadarkan mu pada kursi. Seperti habis mabuk, tak sadarkan diri, mengigau, merintih. Aku ketakutan karena tak bisa mendengar mu, aku menangis karena tak tau kamu kenapa. Oh Tuhan apa yang sebenarnya terjadi? Ini apa Tuhan?. Aku mengoyakan bahu mu, mebelai pipi mu, berharap kamu membuka mata. “Kamu kenapa?, apa yang terjadi?, kamu sakit?, kamu berantem?, tolong jawab aku, kamu kenapa? Kenapa seperti ini?.” Tangis ku pecah, aku takut, aku khawatir. Tiba-tiba kamu menarik ku, memeluk ku, menangis “Maaf… Jangan tinggalin aku, jaga perasaan mu supaya jangan menguap, aku perlu kamu, aku mohon..”. Sekali lagi aku syok mendengarnya, aku melihat mu, mengusap air mata mu, menyadarkan mu, lagi. “Jawab aku. Sakit. kamu ngak akan meninggalkan aku?”. Aku tercekat, tak bisa menjawabnya, aku bingung kenapa tiba-tiba seperti ini, apa yang terjadi, hanya diam dan menangis, hanya itu yang bisa aku lakukan. “Dimana yang sakit? Apanya yang sakit? Beritahu aku?” aku mengusap air yang membasahi pipi mu. “Jawab aku! Jawab aku!”, kamu menarik ku lagi, lebih erat, sangat erat, sampai aku merasakan rasa sakit yang kamu rasakan, rasa yang sangat menyakitkan, rasa yang aku tak mengerti kenapa. Aku menahan tangis ku, mencoba untuk kuat, dan membisiki mu “Aku selalu disini, selalu mejaga perasaan ini, tenanglah. Aku disini sayang.”. Lagi kamu memeluk ku, dan aku memeluk mu. erat. 

Aku merasakan pipi ku basah, jantung ku berdegup kencang, nafasku sesak, tubuh ku gemetar. Aku bangun, berlari menuju pintu, dan hanya mendapati hujan, hanya hujan, hujan yang deras. Aku khawatir , menunggu pesan yang aku langsung ku kirim kan untuk mu. semua ini seperti nyata, hujan, tangis, pelukan , rasa sakit, aku, kamu.  Semua seperti nyata bukan mimpi. Ya aku berharap akan menjadi nyata pelukan itu, tapi hanya ingin menjadi mimpi saja, saat melihat mu seperti itu. Entahlah, mungkin karena aku terlalu merindukan mu, atau mungkin perasaan ini terlalu peka, ah aku tak ingin membuat pola dalam pikiran ku sendiri, aku yakin kamu pasti baik-baik saja. Ya pasti. Andai tak ada jarak, ansai kamu mau bercerita lagi, andai aku tau apa yang sedang kamu rasakan, atau apa yang sedang terjadi pada mu. Andai.. andai… mengandai kita seperti dulu lagi. Ya. Aku berharap aku tidak terlalu. Berlebihan

#katakan pada ku bahwa aku terlalu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar