Rabu, 19 Juni 2013

melody



Tuhan mencintai nya dengan cara yang berbeda. Berbeda, yang berarti tak sama. Iya, tak sama, berbeda. Melody. Seorang gadis yang Tuhan inginkan berbeda. Tujuh  tahun yang lalu, dimana Melody harus menerima kenyataan bahwa Tuhan menunjuknya untuk menyatakan bahwa Tuhan sangat mencintainya, mencintainya dengan cara berbeda.
Gadis kecil yang sangat manja, yang mendapatkan apa yang selalu dia inginkan, bertumbuh ditengah keluarga yang harmonis,  iya,  sebelum tujuh tahun yang lalu. Sehari bisa dua kali Melody mendapatkan boneka Barbie kesukaanya, seminggu bisa dua kali Melody berjalan bersama ayah dan ibunya untuk sekedar berkeliling kota, sebulan bisa dua kali Melody mendapat baju baru. Melody menjadi putri kecil, yang setiap pagi berbagi canda tawa dengan ibunya, setiap sore bermain bersama teman-temanya dan setiap malam, selalu, sebelum dia beranjak tidur  didongengkan oleh ayahnya. Ayah adalah sosok yang menjadi idolanya, dulu. Ibu menjadi sosok yang selalu memperhatikanya, dulu. Dulu. Dulu sekali, sebelum Melody harus menerima kenyataan yang mungkin seharusnya tak dia terima diusianya yang masih ingin bersenang-senang, diusianya yang seharusnya tak memikirkan jauh kedepan, diusianya yang harusnya bisa tertawa, bercanda, tiba-tiba diproses untuk menerima kasihNya.
Pernah suatu ketika, kala itu. Melody mengalami sakit mendadak. Mendadak panas, mendadak tak bisa bangun, mendadak lemas, mendadak tak mau bicara, mendadak tak mau mendengar, mendadak tak mau membuka mata, mendadak membuat seluruh keluarganya menangis, mendadak. Mendadak Melody merasakan sakit yang menyesakan dadanya, mendadak merasakan kesakitan yang begitu luar biasa, saat apa yang dia dengar dan apa yang dia lihat tak sama, sangat berbeda. “ndug, kenapa? Bilang ndug sama bulik, jangan cuma diam saja ndug” pinta tantenya yang saat itu tak kuasa melihat keadaan Melody. “ndug, pengen apa? Ice cream? Baju?, apa ndug? Nanti eyang belikan”, bisikan lembut neneknya, yang menggetarkan setiap orang yang ada disitu. “ndug, siapa yang nakali kamu cah ayu,?” Tanya kekwatiran itu diperdengarkan oleh tantenya. “ndug, maem ya, mau apa? disuapin ibu ya ndug”, ibu, iya suara ibu terdengar oleh Melody. Terdengar langkah kaki setengah berlari sambil terisak “ndug, lihat ndug, lihat tante belikan baju buat kamu lihat ndug, ayo dibuka ndug matanya” kalimat yang akhirnya memecahkan tangis yang tertahan, namun Melody hanya diam, menutup mata, menahan, menahan agar semua orang tak merasakan rasa sakit yang ia rasakan, menahan agar air mata yang ia tahan tak menambah banyaknya air yang sudah meluap. Melody hanya menutup mata tak ingin melihat bayangan yang terus menyakitkan terlihat lagi didepanya, Melody hanya menutup telingga agar dia tak mendengarkan lagi suara-suara yang menawarkan kebahagiaan untuknya, Melody tak mau membuka mulutnya untuk mengutarakan rasa sakit, sakit yang membuatnya tiba-tiba mendadak seperti itu. Tiba-tiba, tiba-tiba Melody harus melihat sosok yang mengajarkanya kasih, harus membagikan kasihnya kepada buah cintanya bersama wanita lain. Iya, Melody melihatnya, melihat bayi mungil yang tidak berdosa digendong oleh seseorang yang gagah, yang selama ini Melody anggap sebagai idola, yang setiap malam mendongengkan tentang perumpamaan kasih, mengajarkan Melody lagu-lagu yang selalu dia ingat, dia sukai. Sosok itu berjalan di depanya, memberikan senyumanya, senyum yang Melody tidak tau apa artinya, senyum yang sudah tak ingin lagi dilihat Melody, senyum yang menyakiti hatinya. Mulai dari itu, saat itu, kala itu, Melody tak ingin mengenal sosok itu, bahkan tak ingin memanggil sosok itu dengan sebutan, ayah.
Melody harus berjuang menahan keinginya memiliki boneka Barbie seperti kepunyaan teman-temanya, baju baru sperti yang sering dipakai saudara-saudaranya, atau sekedar jalan-jalan ke mengelilingi kota,melihat lampu-lampu yang indah lagi. Melody kecil, tak bisa lagi menjadi Melody yang manja, yang sebentar-sebentar menangis karena tak bisa mendapatkan apa yang dia inginkan. Tapi Melody kecil tak ingin membebani ibunya, dia bisa menahanya, menahan apa yang dia inginkan, dia terlalu sadar jika ternyata hidupnya telah berubah. Melody tak ingin menambah berat langkah kaki ibunya yang setiap hari harus bangun pagi, kedinginan, tapi dengan hangat, tangan kirinya mendekap Michael, dan dengan kuat tangan kananya mengandeng  Melody. Iya Melody melihat, mendengar, merasakan bagaimana perjuangan ibunya. Hanya ibunya. Melody terpaksa harus membiasakan diri dengan keadaan yang tak sama lagi. Melody tak begitu saja menutup matanya, tapi dia memmbuka matanya lebar-lebar untuk melihat kehidupan, kehidupan yang harus dia jalani. Kehidupan yang tak bisa membuatnya memilih lari, yang ada hanyalah pilihan bahwa dia harus tetap berjuang maju. Karena kalaupun ada pilihan lari dia tak tahu harus lari menuju siapa?, harus lari sekencang apa?, ya Melody memilih maju, maju untuk melihat rencana indah apa yang telah Tuhan siapkan untuk nya.
Tujuh tahun silam, tapatnya saat melody berumur enam tahun. Enam tahun? ,iya enam tahun kala itu. Dia harus diperhadapan dengan sesuatu yang membuatnya harus menahan rasa sakit dari, perpisahan, pengkhianatan, perselingkuhan. Dia harus bertumbuh tanpa adanya kasih sayang, perhatian, kepedulian, dia bertumbuh dengan kemandirianya, ketakutanya, keminderanya. Mandiri karena dia harus bisa melakukan apapun sendiri, takut jika kelak dimasa depanya dia menemukan sosok yang memebuat dia merasakan rasa sakit yang sama, dan minder karena tak ada sosok yang memberinya support, semangat, dorongan yang membuatnya lebih maju. Seratus delapan puluh drajat, hidupnya berputar
Waktu berjalan, tak membuatnya menjadi pribadi yang lemah melainkan kuat, proses, apayang dia liahat, dengar, rasakan tak membuatnya menyerah, tapi membuatnya berjuang. Meski dia berbeda, dia ingin membuktikan bahwa dia juga bisa melakukan hal yang orang lain sama lakukan. Dia ingin menguatkan orang-orang disektarnya. Dan sampai akhirnya Melody harus memperkuat hatinya untuk menahan hati yang harus tersakiti lagi, memperkuat telingganya untuk setiap apa yang orang bicarakan tentang keluarganya, dan terlebih memperkuat mata untuk melihat keharmonisan dari setiap keluarga yang dialihat. Salahkah jika dia tak ingin bermimpi? Ya dia tak ingin melambungkan semua khayalanya, khayalan bisa makan bersama dimeja makan bersama keluarganya, khayalan bisa bersendau gurau setiap malam didepan televisi, dan khayalan dia bisa bertukar pikiran saat dia mengalami sesuatu yang sulit untukdipecahkan, simple. Hanya itu, tapi terlalu rumit dan sakit jika harus terus dikhayalkan. Ini bukan mimpi, yang ketika bangun dia tak bisa merasakanya, tapi ini dunia nyata, dunia yang harus dia rasakan. Nyata, senyata senyuman kebahagiaan yang  tidak pernah dia lihat lagi setelah tujuh tahun yang lalu. Senyuman manja yang terlukis dari bibir ibunya saat sedang berceloteh dengan seorang pria. Setiap hari, setiap melody pulang sekolah, dia selalu melihat perhatian yang dia harapkan bisa didapatnya, terpapang nyata didepanya dan orang lain yang mendapatkanya “apa arti kehadiran ku dan Michael? kenapa tak bisa membuat ibu tersenyum bahagia seperti saat bersama pria itu? Apa ibu tak bahagia jika hanya memilki aku dan Michael ?”. Capek. Raganya juga hatinya. Kenapa harus menerima sakit lagi, kenapa tak ada yang bisa membuatnya percaya akan yang namanya kasih sayang. Tapi dia selalu berusaha membuat orang disekitarnya tak merasakan rasa yang dia rasakan. Berusaha selalu melakukan yang terbaik,meski apa yang dia terima tak selalu baik. “Cukup aku” ucapnya
Sampai detik ini, ketika Tuhan memberi aku kesempatan berbincang denganya, ketika Tuhan ijinkan aku mendengar kisahnya, ketika Tuhan  menginginkan aku menghampirinya setelah dia meniup lilin putih diatas kertas yang bergambar roti tar dengan gambar lilin angka tigabelas di atasnya, dan ketika Tuhan mempercayakan aku untuk mengusap air matanya, aku pilu melihat mata ketakutan itu. Ketakutan dengan yang namanya cinta, kasih sayang. “itu mengapa aku tak bisa percaya dan tak mau percaya lagi dengan cinta dan kasih. Aku takut merasakan rasa sakit lagi. Disini masih sangat terasa sakit” kalimat  itu bukan hanya aku dengar, tapi juga selalu terngiang-ngiang dipikiran ku. Dan membuat ku merasakan sakit itu juga, sakit yang dirasakan oleh seorang gadis remaja, sakit yang memberikan bekas yang sangat dalam dan perih. Sakit yang tak bisa sembuh dengan hitungan detik. Namun dia selalu berusaha bangkit dalam sakitnya.
#terimakasih Tuhan untuk melody, dan bersyukurlah untuk setiap melody dalam hidup mu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar